Sabtu, 27 Februari 2010

Kasek yang Visioner


Sekitar sebulan yang lalu, beliau aku telpon untuk ikut mengisi Pelatihan Model Pembelajaran Berbasis ICT untuk guru-guru PAI se Kota Batam. Beliau langsung ok. Jadilah aku mengisi sesi model pembelajaran non ICT dan beliau model pembelajaran yang berbasis ICT, memang ICT adalah dunianya. Selanjutnya kami berkomunikasi tentang setting acara dan seterusnya.
Awalnya beliau adalah guru PAI biasa di SMPN 36 Semarang. Dengan minat yang besar terhadap ICT, pembelajaran PAI menjadi luarbiasa. Puncaknya ketika beliau berhasil meraih peringkat ketiga pada lomba Guru Berprestasi (Gupres) tahun 2008 yang diselenggarakan oleh Depdiknas. Seumur-umur baru itulah GPAI menyodok peringkat ketiga mengalahkan guru-guru mata pelajaran lain. Kalau peringkat pertama masih belum diijinkan barangkali.
Selepas lomba kariernya makin bersinar. Beasiswa S2 diraihnya dari LPMP Jateng, beliau ambil keahlian Komputer di Udinus Semarang (Feeling saya, nantinya beliau ditarik menjadi widyaiswara LPMP). Jalan menuju kursi kepala sekolahpun dilaluinya dengan mulus. Setelah kepulangan dari Jepang untuk studi banding Kebudayaan dan Pendidikan, kursi kepala sekolah diraihnya dan ditempatkan di SMPN 17 Semarang.
Tentu saja semua itu diraihnya atas dukungan keluarganya, Erna Hendyani istrinya dan 3 anaknya sangat memotivasi kehidupannya. Kabarnya anak keempat sedang dalam proses (feeling saya lagi, yang ini buah kangen dari Jepang...)
Muhammad Ahsan adalah sosok yang sedang dibicarakan. Lahir di Demak pada tahun 1974 menjadikannya sebagai Kepala Sekolah (barangkali) yang termuda. Ini cukup menggelitik benakku untuk mengorek apa yang ada di kepala Kasek muda ini. Pertama kali aku mengenalnya waktu acara Ditpais di Yogya, selanjutnya kerap bertemu di pelatihan ICT tingkat nasional dan telaah soal. Gaya bicaranya enteng dengan suara baritonnya.
Siang itu dia 4 jam berada di bandara Soetta dalam keberangkatan memberi pelatihan di Batam. Dengan gayanya yang khas seperti jasket kedombrongan, travel bag trolly, dan ransel tentu saja, dia sudah menungguku di check in room.
Sekitar bulan Desember 2009 lalu kami bertemu di Jakarta. Beliau menceritakan idenya untuk menjadikan sekolahnya sebagai "sekolah berbasis kearifan lokal". Sangat menarik ditengah gemuruhnya sekolah-sekolah berlomba menjadi sekolah RSSN,SSN, RSBI, SBI dan sebagainya. Sebagian sekolah bahkan ada yang masih berstatus SNSNS (Sekolah Numpang Sana Numpang Sini), bahkan ada yang RSSN cuma 'R'nya bukan 'rintisan' tapi 'rintihan'.
Ide tersebut kami diskusikan lagi ketika nunggu pesawat. Beliau mengatakan bahwa nilai-nilai kearifan lokal (Jawa) menjadi landasan gerak sekolahnya. Mulai dari tata kesopanan, bahasa bahkan (mungkin) pakaian Jawapun digunakan. Rencananya di sekolahnya nanti ada pelajaran membatik dan setiap siswa harus berkarya dan wajib dipakai. Rencananya ada satu hari dalam seminggu siswa harus membuat batik buatan sendiri.
Saat ini beliau sedang menata lingkungan sekolahnya menjadi tempat yang menyenangkan untuk belajar. Dimulai dari mengecat gedung, menata lingkungan, green school, membiasakan hidup bersih di kalangan guru dan siswa. Dukungan stakeholder sangat memungkinkan terwujudnya visi tersebut. Disdik kota Semarang dan Komite Sekolah sangat antusias mendukung langkah beliau.
Di usia muda beliau sudah mampu menunjukkan prestasi dan menjadi teladan bagi kaum guru. Benarkah baru pada usia 45 tahun pemikiran seseorang mulai mapan? Mas Ahsan menggugurkan tesis itu.
***

2 komentar: