Sabtu, 27 Februari 2010

Teh Obeng


Setelah beristirahat sebentar, kami (saya dan sobatku, p. Ahsan Kasek SMPN 17 Semarang) diajak Panitia pusing-pusing kota Batam, tujuan sebenarnya adalah makan malam. Menggunakan dua mobil rombongan mulai bergerak. Aku ikut di mobil pertama. Dengan lincah bu Kasmawati (guru PAI SMPN 6 Kota Batam) mengemudikan Avanza maticnya. Namanya bu Kas, jadi sering dinominasikan sebagai bendahara. Memang cocok. Ini memang rombongan "nggak tau diri", masa drivernya iseorang ibu padahal ada 6 bapak-bapak di dalamnya, sedangkan mobil kedua mengikuti. Kejadian ini sama dengan waktu kami dijemput di bandara Hang Nadim. Aku sempat surprise juga karena drivernya ibu-ibu. "Kita ke Lay-lay bu," pak Rizal sang ketua panitia memberikan komando. Sepanjang jalan pak Rizal menjadi navigator, memberi arah jalan mobil. Setelah sekitar 45 menit berjalan kami memasuki sebuah komplek pertokoan, terlihatlah tulisan besar "LAY-LAY RESTAURANT". Wah makan di restoran nih, pikirku. "Parkirnya di mana, Pak?", bu driver bertanya. "Kita ke rumah makan Sunda bu,"jawab pak Rizal. Kamipun tertawa bersama, karena perkiraan semula makan di Lay-lay resto, ternyata di Sunda resto. Seperti umumnya warsun (warung Sunda) kami mengambil sendiri makanan yang diminati. Sambil menunggu sop buntut aku memesan jus apel tanpa es karena badan masih agak meriang sejak dari rumah. Mataku masih menerawang menyapu dinding warung. Pandanganku terhenti pada daftar menu makanan yang dipasang di dinding. Di bagian atas tertulis besar-besar 'Warung Sunda Bu Joko'. Wah, warung Sunda tapi yang punya bu Joko, bukan bu Jaka. Makan malampun berlangsung dengan suasana hangat. Kami saling bertukar cerita, mulai dari cerita biasa sampai yang lucu kadang-kadang nyerempet saru. Penerimaan tuan rumah yang sangat ramah dan antusias membuat kami bersemangat cerita apalagi....makannya... "Ini teh obengnya pak, silakan," ujar pak Dirman. "Oo....teh obeng? Kenapa dinamai teh obeng? Apakah ngaduknya pake obeng?", tanyaku penuh penasaran. "Ceritanya dahulu banyak orang Cina yang buka warung. Kalau orang pesan minuman teh tawar, dia akan bilang 'teh o, beng'. Jadi 'beng' itu sapaan pada si tukang warung," jelasnya. "Oo...itu maksudnya..." Sejurus kemudian gerakan kami mulai melambat seiring dengan makin penuhnya perut kami. Sebagai finishing perlahan-lahan kuhabiskan sop buntut. Akhirnya......tamat sudah semangkuk sop buntut sapi itu. Kamipun kembali ke hotel untuk beristirahat, mengumpulkan energi untuk acara esok hari.
***
Batam di pulau Jawa (dan mungkin di daerah yang lain) dipersepsikan sebagai daerah bebas bea dan dunianya barang-barang murah. Dalam perjalanan ke hotel setelah makan malam di warsun bu Joko, kami mengantar pak Rizal ke kecamatan Batu Ampar dimana MTQ tingkat kecamatan tengah digelar. Pada perjalanan menuju perhelatan kami melewati daerah tempat barang-barang second ex Singapura dijual. Di sepanjang jalan itu berdiri toko-toko yang memajang barang-barang second mulai dari sepeda hingga peralatan elektronik seperti TV, kulkas, oven, dll. Batam menjadi daerah buangan barang-barang ex dari Singapura, salah satu macam ekonomi Asia yang luasnya hampir setara Batam sendiri. Mobil bekas negeri itupun berseliweran di Batam. Cirinya ada di nopol, ada huruf 'X', misalnya BP 1234 TX, pasti itu mobil ex Singapura. Mobil itu hanya diizinkan beroperasi di Batam, tidak boleh keluar dari wilayah itu. Contohnya taksi yang kami tumpangi ke bandara, mobilnya tua tapi automatic. Kabarnya dengan harga Rp. 70 juta kita sudah dapat membawa Toyota Camry pulang, tentu saja ke rumah yang ada di Batam.
***
Hari ketiga adalah acara bebas. Acara pokok sudah berjalan dengan lancar pada hari kedua. Kemarin teman-teman GPAI Kota Batam menjanjikan akan mengajak kami ke pulau Galang sebelum terbang ke Jakarta. Sekitar pukul 06.30 kami keluar hotel sekedar jalan pagi menikmati Batam Center, kawasan dimana kami menginap di hotel PIH (Pusat Informasi Haji) tentu saja sambil mencari sarapan pagi. Kami berjalan menuju masjid Raya Batam yang terlihat kokoh dari kamar kami ke arah barat. Lalulintas masih sepi, hanya satu-dua kendaraan melintas. Kami berjalan dengan nyaman tanpa ada polusi, disamping itu trotoar tertata rapi meskipun tumbuhan agak malu-malu tumbuh. Selain faktor tanah pulau Batam yang berkapur, memang saat itu juga Batam masih kemarau, menurut seorang teman sudah empat bulan hujan tidak turun. Berbalik kondisi di tanah Jawa yang sedang dilanda banjir. Memasuki komplek Masjid Raya suasana sepi, tak seorangpun terlihat bahkan tak seorangpun sekuriti kami temui sampai kami selesai melihat-lihat masjid. Perjalanan dilanjutkan melalui beberapa perkantoran pemerintah seperti kantor Walikota, DPRD, Kejaksaan, BI, dsb. Memang Batam Center adalah pusat perkantoran pemerintah dan legislatif Kota Batam. Hari makin siang sementara alarm perut saya mulai berbunyi. Mata makin jelalatan melihat kanan-kiri bilamana ada tukang atau warung makan. Ternyata nihil. Satu-satunya gerobak makan yang kami temui sudah habis. Wah nasib... Sambil menyusuri pedestrian yang cukup lebar di depan BI saya dan pak Ahsan saling bercerita pengalaman masing-masing, sementara mata tetap waspada terhadap kemungkinan hadirnya penjual makan pagi. Tiba-tiba melintas sebuah taksi sambil membunyikan klakson mengisyaratkan barangkali kami butuh tumpangan. Oh thank sir, we just take a walk. Tapi ada yang aneh, mataku melihat di taksi itu sudah ada penumpangnya, lho kok masih tat-tit mengklakson. Sambil menyusuri trotoar ke arah PIH kami mendiskusikan fenomena tersebut. Pembangunan gedung perkantoran di Batam Centre masih berlangsung. Kepulauan Riau adalah provinsi baru, maka tidak heran pembangunan infrastruktur terus berlangsung. Di kanan-kiri jalan berdiri gedung-gedung baru. Seakan seorang gadis yang tengah bersolek menanti sang jejaka mengajaknya nonton di malam Minggu. Dibanding wilayah lain di Kepri, Batam sebenarnya sudah mulai berkembang terutama sejak ada pengelolaan khusus Otorita Batam dengan BJ. Habibie sebagai ketuanya, kemudian dilanjutkan oleh JE. Habibie dan Ismet Abdullah gubernur Kepri sekarang. Saat itu Batam menjadi zone ekonomi yang sangat prospektif. Perusahaan bertumbuhan yang tentu saja menyerap banyak tenaga kerja. Pelabuhan internasional yang semula ada di pulau Belakang Padang dipindah ke Sekupang di Batam. Batam menjadi 'gula' yang menarik 'semut' dari seluruh wilayah Indonesia, jadi tidak heran bila di sana sangat multietnis yang tentu saja jadi multikultural, salah satunya ya itu tadi....warsunnya bu Joko... Perjalanan terus dilanjutkan sementara alarm makin kencang berbunyi, akhirnya kami bertanya tentang warung makan kepada sekuriti di sebuah perkantoran. Dia hanya menunjukkan sebuah warung kecil di ujung gang. Setelah mengingat bla-bla-bla dan menimbang ini dan itu, kami memutuskan...kembali ke hotel dan sarapan di sana. Dengan langkah pasti seperti Paskibra kami back to hotel dan menyendok nasi goreng. "Perjalanan yang penuh hikmah," ujarku, "tapi apa hikmahnya mas Ahsan?" "Hikmahnya, sarapan kita jadi enak dan nambah, iya tho...," jawab mas Kasek dengan enteng. Wah iya juga. Akupun segera membuktikan hikmah pagi itu, kembali lagi ke tempat nasi untuk tambah sarapan dan dua jus jeruk habis kureguk. Memang benar, pagi yang penuh hikmah....
****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar