Sabtu, 27 Februari 2010

Barelang Track


Hpku berbunyi tanda SMS masuk. Pesan singkat dari seorang teman yang memprovokasi aku agar jangan melewatkan Barelang sebelum pulang. Di hari ketiga kami berlima bergerak meninggalkan PIH dengan tujuan pulau Galang dengan jarak sekitar 80 km. Pulau Galang adalah pulau (besar) yang ketiga yang terhubung dengan pulau Rempang dan pulau Batam melalui jembatan. Di pulau ini pula para pengungsi Vietnam ditampung pada saat negeri mereka dilanda peperangan.
Sebenarnya jembatan yang menghubungkannya tidak langsung pada pulau-pulau tersebut, tetapi ada pula yang terhubung lebih dahulu dengan pulau kecil yang ada di antaranya. Contohnya jembatan Barelang 1 (yang bertiang dan kabel), jembatan ini menghubungkan pulau Batam dengan pulau Ponpon, selanjutnya terhubung lagi dengan jembatan 2 ke pulau Rempang. Jembatan 2 sampai 5 seperti halnya jembatan biasa, yang menjadikan luarbiasa adalah jembatan ini melintasi laut bukan sungai. Jangan lupa pula bahwa jembatan ini adalah karya kebanggaan anak-anak negeri. Jadi jembatan Barelang itu menyambung pulau BAtam, REmpang dan GaLANG ke dalam satu rangkaian.
Jalan yang kami lewati sangat mulus. Perjalanan sekitar 1,5 jam tidak membosankan karena disuguhi pemandangan khas. Pepohonan yang segan tumbuh dan semak-semak, serta lahan bertanah kapur yang sudah dikapling-kapling menjadi milik perusahaan tertentu tersebar di sepanjang jalan. Fasilitas jalan ini dibangun pada saat pak Habibie menjadi kepala Otorita Batam.
Sampai di pulau Galang kami disuguhi pemandangan perkebunan buah naga. Namun sayang tidak sedang musimnya sehingga tampak pepohonannya saya yang seperti pohon kaktus. Perumahan penduduk jarang ditemui. Tak terbayang bagaimana jadinya bila dalam perjalanan malam kendaraan mengalami pecah ban atau kehabisan bensin...

Di sebuah pertigaan jalan kami berbelok kekiri ke arah Sembulang. Sekitar 13 km kemudian sampailah kami di kawasan pesisir. Sekalipun pesisir di kawasan ini terdapat kantor kecamatan, Kodim, kantor KUA dan tentu saja sekolah. Kami mengunjungi SMPN 18 Batam. Sekolah ini terletak di kawasan pesisir, dari depan sekolah kita bisa memandang ke laut lepas. Dua orang guru PAInya menjadi panitia pelatihan. Bahkan salah satu di antaranya tinggal di Batam. Ya, pak Sudirman setiap hari menempuh jarak 80 km untuk mengajar. Transportasi ke sekolah hanya ada bus Damri (ukuran 3/4 atau metromini) yang datang setiap 2 jam sekali. Bila terlambat pak Dirman terpaksa naik sepeda motor.
Guru PAI yang satunya lagi, Ibu Nur bahkan rela tinggal di kantor KUA Sembulang dimana suaminya bertugas. Siswa sekolah ini tidak sampai 100 orang, tidak ada paralel, sehingga hanya terdiri dari satu kelas di masing-masing tingkat. Para siswa berasal dari sekitar sekolah dan beberapa siswa lainnya berasal dari pulau-pulau terdekat. Aku sangat kagum pada kawan tersebut. Diam-diam air mataku menggenang, kagum pada kegigihan beliau-beliau pendidik. Beliau sangat haus akan informasi terkini terkait dengan pembelajaran, selalu ingin mengup date kemampuan agar tidak tertinggal dari daerah lain. Mengapa teman-teman yang ada di sekitar ibukota ada yang adem ayem dengan kemampuan yang pas-pasan.
Di sepanjang jalan menuju resto pinggir laut beliau bercerita suka-duka selama bertugas di daerah nan damai ini. Sebenarnya terlalu sederhana untuk disebut resto. Tetapi setidaknya tawaran tempat yang sangat menggiurkan sehingga selera makan disana terbit. Resto ini terletak di atas laut. Kami harus berjalan sekitar 100 m ke arah laut melalui (semacam) dermaga untuk mencapai tempat makan. Tiang penyangga dan lantai sepenuhnya dari kayu dan papan, yang menggunakan cor hanyalah toilet. Saat itu laut sedang surut sejauh sekitar 150m dari tepian sehingga tampaklah dengan jelas dasar laut yang kering. Air pasang lagi sekitar pukul 15.00. Aku makin tergoda untuk mengambil gambar sambil menunggu masakan lengkap.
Cah kangkung, nasi, gonggong (semacam siput laut), rajungan, kakap asam pedas telah terhidang. Kami segera menyerbu makanan yang telah terhidang, selanjutnya masing-masing sibuk dengan 'proyek'nya.
Tidak terasa waktu sudah menunjuk pukul 12.00, padahal pesawat take off pukul 13.55, jadi setidaknya pukul 13.30 sudah check in. Terlalu asyik makan sehingga lupa waktu, padahal rencana semula sambil jalan ke bandara ingin mampir di Nagoya untuk beli oleh-oleh. Apa lacur waktu sudah mendesak, segera kami meluncur kembali ke Batam dan membatalkan acara ke Nagoya agar tak tertinggal pesawat.
Dalam perjalanan yang terburu-buru kendaraan kami mengalami gangguan. Air karburator habis! ditambah lagi harus mengganti ban depan sebelah kiri yang kempes, padahal waktu sudah menunjuk pukul 13.30. Setelah berhasil diatasi kami bergerak lagi. Perjalanan ke bandara disambung dengan taksi. Untungnya taksi bisa diajak ngebut sehingga bisa check in 10 menit sebelum take off. Di sepanjang jalan kami cukup cemas dengan limit waktu yang ada. Alhamdulillah Allah masih memberi kemudahan dalam perjalanan.
Jam 16.30 pesawat Batavia mendarat di Jakarta. Dalam perjalanan ke rumah niatnya ingin naik bus bandara. Tetapi aku juga ingin coba naik ojek sampai ke Tanah Tinggi Tangerang, selanjutnya naik angkot jurusan Muncul. Akhirnya aku ngojek ke Tangerang. Di tengah perjalanan si abang ojek menawarkan agar aku ngojek sampai ke rumah. Akhirnya aku mau juga. Aku menyetujui ngojek sampai rumah untuk menghindari kemacetan pada jam pulang kerja. Benar saja, arus Tangerang-Serpong macet. Jadi ngojek sangat efektif. Si abang ojek ini ternyata harus pula setor Rp. 10.000,- kepada timer setiap kali narik penumpang. Ini pula yang menyebabkan aku mau ngojek sampai ke rumah.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar